OPINI

Kepemimpinan Kolaboratif di Era Digital, Studi Kasus Dedi Mulyadi dalam Membangun Koneksi dengan Masyarakat Jawa Barat

redaksi
×

Kepemimpinan Kolaboratif di Era Digital, Studi Kasus Dedi Mulyadi dalam Membangun Koneksi dengan Masyarakat Jawa Barat

Sebarkan artikel ini

OPINI — Era digital telah membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia kepemimpinan pemerintahan. Di tengah gelombang perubahan ini, pemimpin tak lagi cukup hanya andal dalam mengambil keputusan.

Mereka juga dituntut membangun relasi kuat dengan masyarakat, memanfaatkan teknologi digital untuk efektivitas kepemimpinan, serta menjamin transparansi dan partisipasi publik yang lebih luas.

Sosok yang mencerminkan gaya kepemimpinan kolaboratif sekaligus adaptif terhadap kemajuan teknologi adalah Gubernur Jawa Barat saat ini, Dedi Mulyadi.

Dikenal sebagai pemimpin yang merakyat, Dedi Mulyadi sering turun langsung ke lapangan untuk mendengar aspirasi dan kebutuhan masyarakat dari berbagai pelosok wilayah.

Pendekatan ini bukan hanya wadah penampung keluhan, tetapi juga sarana membangun kepercayaan dan kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat. Di provinsi seberagam Jawa Barat, pendekatan semacam ini menjadi sangat relevan karena mampu memperkuat modal sosial sebagai fondasi pembangunan partisipatif.

Dedi Mulyadi konsisten menekankan pentingnya mendengar suara rakyat sebagai dasar utama kebijakan publik.

Tak hanya lewat forum resmi, ia aktif menginisiasi diskusi bersama tokoh masyarakat dan organisasi lokal agar kebijakan yang dibuat tepat sasaran dan inklusif. Gaya ini selaras dengan konsep “shared governance” atau tata kelola kolaboratif, yang mengedepankan partisipasi aktif pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan, menggantikan pendekatan sentralistik yang selama ini dominan.

Kolaborasi lintas sektor juga menjadi kekuatan Dedi Mulyadi. Ia menggandeng akademisi, pelaku usaha, organisasi sipil, hingga tokoh agama dalam merumuskan kebijakan.

Pendekatan ini tidak hanya memperkaya sudut pandang, tetapi juga mempercepat realisasi program pembangunan karena mengantongi dukungan luas dari masyarakat. Kolaborasi seperti ini menjadikan kepemimpinan sebagai gerakan kolektif menuju perubahan sosial yang inklusif dan berkelanjutan.

Memasuki era digital, Dedi Mulyadi memaksimalkan pemanfaatan media sosial seperti YouTube, Instagram, dan TikTok untuk membuka komunikasi dua arah dengan publik.

Melalui platform ini, ia menyampaikan informasi, kebijakan, hingga menanggapi langsung keluhan warga secara real time. Strategi ini memperluas jangkauan kepemimpinan sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. “Kedekatan virtual” yang dibangun menjadi bukti bahwa teknologi dapat meningkatkan kepercayaan publik jika digunakan secara tepat.

Keunikan Dedi Mulyadi juga terletak pada kehadirannya yang konsisten di tengah masyarakat. Dalam interaksinya, ia tak hanya menyerap aspirasi, tetapi juga memperlihatkan teladan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab.

Secara teori, pendekatan ini dikenal sebagai “leadership by example” dan “gemba walk”, di mana pemimpin hadir langsung di lapangan untuk menyaksikan persoalan secara nyata.

Menariknya, metode “blusukan” ini ia kombinasikan dengan teknologi. Setiap kegiatan didokumentasikan dan dibagikan melalui media sosial, menciptakan keterhubungan yang kuat antara pemimpin dan rakyat. Hal ini meningkatkan kesadaran publik terhadap program pemerintah sekaligus memperkuat kedekatan emosional.

Daya tarik lain dari gaya kepemimpinannya adalah keberanian dalam mengambil keputusan yang tidak populer. Sikap ini menunjukkan karakter transformasional, di mana pemimpin berani mengambil risiko demi manfaat jangka panjang.

Salah satu contohnya adalah kebijakan ketat dalam pengelolaan tata ruang dan lingkungan yang sempat dikritik kalangan bisnis, namun terbukti membawa dampak positif bagi pembangunan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi menegaskan bahwa kolaborasi dan teknologi bukan hanya bisa berjalan berdampingan, tapi justru saling menguatkan.

Ia menjembatani pendekatan teknokratis dan populis dalam satu kepemimpinan yang adaptif, transparan, dan inklusif. Dedi Mulyadi menjadi contoh bahwa keberhasilan memimpin bukan hanya soal strategi, tetapi juga soal keberanian mendengar, berinovasi, dan melayani. Di tengah dinamika politik yang sering lebih mementingkan pencitraan, gaya kepemimpinan seperti inilah yang patut diteladani.

 

PENULIS : Rizky Dwi Zira Nabila Universitas Muhammadiyah Malang